Istri Durhaka

Allah Ta'ala berfirman, "Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka, hendaklah kalian menasehati mereka atau pisahkan mereka dari tempat tidur, atau pukullah mereka. Dan jika mereka sudah kembali taat kepada kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk menyakiti) mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (QS. An-Nisa': 34)

Al-Wahidi rahimahullah berkata, "Yang dimaksudkan dengan 'nusyuz' pada ayat diatas adalah kedurhakaan terhadap suami, yakni merasa lebih tinggi dihadapan suaminya disaat terjadi perselisihan."

Atha' berkata, "Maksudnya adalah seorang istri yang mengenakan wewangian dihadapan (suami)nya, namun tidak mau 'dikumpuli', serta berubah sikap dan ketaatan yang dulu pernah dilakukannya."

Maksud firman-Nya (yang artinya), "Hendaklah kalian menasehati mereka," yaitu nasehatilah mereka dengan kitab Allah dan ingatkanlah akan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka (para istri).

Ibnu Abbas menafsirkan ayat (yang artinya) "Atau pisahkan mereka dari tempat tidur," yakni dengan membelakanginya dan tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan Sya'bi dan Mujahid menafsirkan dengan cara meninggalkan tempat tidurnya dan tidak menggaulinya.

Tafsir ayat (yang artinya) "Atau pukullah mereka," yakni memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakannya.

Sedangkan maksud firman-Nya (yang artinya) "Jika mereka menaati kalian," adalah janganlah kalian (suami) mencari-cari alasan untuk menyakiti mereka (istri).

Seorang istri memiliki kewajiban yang besar untuk patuh kepada suaminya. Kepatuhan ini tentu tidak berlaku jika seorang suami memerintahkan istrinya untuk bermaksiat kepada Allah, sebab tidak ada kepatuhan terhadap perintah manusia dalam berbuat maksiat kepada Allah.

Jika seorang istri yang patuh kepada suaminya akan memperoleh keutamaan pahala yang besar, maka sebaliknya, istri yang durhaka kepada suaminya akan mendapat ganjaran dosa dan laknat baik dari Allah maupun makhluk-Nya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak datang, (maka) malaikat melaknatnya hingga pagi hari." (HR. Abu Daud dan Nasa'i)

Dalam hadits yang lain disebutkan, "Jika pada malam hari seorang istri meninggalkan tempat tidur suaminya dan menolak ajakannya, maka penduduk langit marah kepadanya hingga suaminya rela kepadanya." (HR. Nasa'i)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Ada tiga orang yang tidak diterima shalatnya, dan kebaikannya tidak diangkat kelangit: budak yang melarikan diri dari tuan-tuannya hingga ia kembali kepada mereka dan meletakkan tangannya pada mereka (menyerah dan taat); seorang istri yang dimarahi suaminya hingga ia ridha kepadanya; dan orang yang mabuk hingga siuman." (HR. Thabrani dan Ibnu Khuzaimah)

Sudah seharusnya seorang istri berusaha untuk taat dan menunaikan kewajibannya terhadap suaminya. Begitu besarnya hak suami terhadap istrinya, hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika aku diperbolehkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, pastilah aku akan menyuruh seorang wanita bersujud kepada suaminya." (HR. Tirmidzi)

Seorang bibi dari Hushain bin Muhsin bercerita perihal suaminya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Rasulullah berkata kepadanya, "Lihatlah kedudukanmu dihadapannya, ia adalah surga dan nerakamu." (HR. Nasa'i)

Seorang istri wajib meminta ridha suaminya dan menjaga dirinya dari kemarahannya, sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika seorang wanita meninggal dunia, sedangkan suaminya ridha kepadanya, maka ia akan masuk surga." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim)

Oleh karena itu, seorang istri berhati-hati dari kedurhakaan terhadap suaminya, karena kedurhakaannya bisa mengantarkannya kedalam neraka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Aku melihat neraka, dan aku dapatkan ternyata sebagian besar penghuninya adalah wanita."

Hal itu disebabkan karena kurangnya ketaatan istri kepada Allah, Rasul-Nya, dan suami mereka. Selain itu, para istri itu pun sering ber-tabarruj (memamerkan dandanannya kepada orang lain). Tabarruj artinya seorang istri keluar dari rumahnya dengan mengenakan pakaian terbaiknya dan berdandan, serta bersolek hingga membuat orang-orang terfitnah oleh penampilannya.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, (melainkan) istrinya yang lain dari bidadari berkata, 'Janganlah menyakitinya, semoga Allah membunuhmu.'" (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

(Imam Adz-Dzahabi. 2008. Al-Kabair, Galaksi Dosa terjemah: Asfuri Bahri. Jakarta: Darul Falah)

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Artikel yang Lain xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Istri Yang Di Anggap Durhaka Kepada Suami

Apakah Anda termasuk Istri yang dianggap durhaka? apakah istri Anda termasuk istri yang dianggap durhaka kepada suami?

Apabila dipanggil oleh suaminya ia tidak datang.
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:"Apabila suami memanggil isterinya ke tempat tidur. ia tidak datang nescaya malaikat melaknat isteri itu sampai Subuh." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Membantah suruhan atau perintah suami.
Sabda Rasulullah SAW: 'wanita Siapa saja yang tidak berbakti kepada suaminya maka ia mendapat laknat dan Allah dan malaikat serta semua manusia."

Bermuka masam terhadap suami.
Sabda Rasulullah SAW: "Siapa saja perempuan yang bermuka masam di hadapan suaminya berarti ia dalam kemurkaan Allah sampai ia senyum kepada suaminya atau ia meminta keredhaannya."

Jahat lidah atau mulut pada suami.
Sabda Rasulullah SAW: "Dan ada empat golongan wanita yang akan dimasukkan ke dalam Neraka (diantaranya) ialah wanita yang kotor atau jahat (tajam) lidahnya terhadap suaminya."

Membebankan suami dengan permintaan yang diluar kemampuannya.
Keluar rumah tanpa izin suaminya.
Sabda Rasulullah SAW: "Siapa saja perempuan yang keluar rumahnya tanpa ijin suaminya dia akan dilaknat oleh Allah sampai dia kembali kepada suaminya atau suaminya redha terhadapnya." (Riwayat Al Khatib)

Berhias ketika suaminya tidak disampingnya.
Maksud firman Allah: "Janganlah mereka (perempuan-perempuan) menampakkan perhiasannya melainkan untuk suaminya." (An Nur 31)

Menghina / Meremehkan pengorbanan suaminya.
Maksud Hadis Rasulullah SAW: "Allah tidak akan memandang (tidak akan ridla) kepada siapa saja perempuan yang tidak berterima kasih atas pengorbanan suaminya sedangkan dia masih memerlukan suaminya."

Mengijinkan masuk orang yang tidak diijinkan suaminya ke rumah
maksud Hadis: "Jangan ijinkan masuk ke rumahnya melainkan yang diijinkan  suaminya." (Riwayat Tarmizi)
sebagai contoh : berhubungan dengan seseorang tanpa keperluan yang diizinkan syara' baik di dunia nyata ataupun di dunia maya seperti sms-an, chatting  dan telepon dengan laki-laki ajnabi/asing.
Tidak mau menerima petunjuk (saran/nasehat) suaminya.
Maksud Hadis: "Isteri yang durhaka hukumnya berdosa dan dapat gugur nafkahnya ketika itu. Jika ia tidak segera bertaubat dan memint ampun dari suaminya, Nerakalah tempatnya di Akhirat kelak. Apa yang isteri buat untuk mendapat ridla suaminya  adalah semata-mata untuk mendapat keredhaan Allah SWT" , karena keridlaan suami terhadap istrinya, adalah salah satu tanda keridlaan Allah kepada dirinya, sebagaimana hadits Nabi :

" Wanita mana saja yang mati sedangkan suaminya meridlainya, maka baginya adalah sorga ".

Sebenarnya untuk mendapat ridla suaminya, para istri istu tidaklah sulit jika memang diri mereka itu punya ilmu dan dan hati mereka punya niat yang kuat dan tulus untuk konsisten pada niat dan komitmen awal ketika membangun biduk rumah tangga.


Islam menekankan suami wajib menggaji istri. Lho???

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Harta isteri adalah harta milik isteri, baik yang dimiliki sejak sebelum menikah, atau pun setelah menikah. Harta isteri setelah menikah yang terutama adalah dari suami dalam bentuk nafaqah (nafkah), selain juga mungkin bila isteri itu bekerja atau melakukan usaha yang bersifat bisnis.

Khusus masalah nafkah, sebenarnya nafkah sendiri merupakan kewajiban suami dalam bentuk harta benda untuk diberikan kepada isteri. Segala kebutuhan hidup isteri mulai dari makanan, pakaian dan tempat tinggal, menjadi tanggungan suami.

Dengan adanya nafkah inilah kemudian seorang suami memiliki posisi qawam (pemimpin) bagi isterinya, sebagaimana firman Allah SWT:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa': 34)

Namun yang seringkali terjadi, sebagian kalangan beranggapan bahwa nafkah suami kepada isteri adalah biaya kehidupan rumah tangga saja. Pemandangan sehari-harinya adalah suami pulang membawa amplop gaji, lalu semua diserahkan kepada isterinya.

Cukup atau tidak cukup, pokoknya ya harus cukup. TInggallah si isteri pusing tujuh keliling, bagaimana mengatur dan menyusun anggaran belanja rumah tangga. Kalau isteri adalah orang yang hemat dan pandai mengatur pemasukan dan pengeluaran, suami tentu senang.

Yang celaka, kalau isteri justru kacau balau dalam memanaje keuangan. Alih-alih mengatur keuangan, yang terjadi justru besar pasak dari pada tiang. Ujung-ujungnya, suami yang pusing tujuh keliling mendapati isterinya pandai membelanjakan uang, plus hobi mengambil kredit, aktif di arisan dan berbagai pemborosan lainnnya.

Padahal kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih merupakan 'gaji' atau honor dari seorang suami kepada isterinya. Sebagaimana 'uang jajan' yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.

Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada isteri. Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban isteri, melainkan kewajiban suami.

Kalau suami menitipkan amanah kepada isterinya untuk membayarkan semua biaya itu, boleh-boleh saja. Tetapi tetap saja semua biaya itu belum bisa dikatakan sebagai nafkah buat isteri. Sebab yang namanya nafkah buat isteri adalah harta yang sepenuhnya menjadi milik isteri.

Kira-kira persis dengan nafkah di awal sebelum terjadinya akad nikah, yaitu mahar atau maskawin. Kita tahu bahwa sebuah pernikahan diawali dengan pemberian mahar atau maskawin. Dan kita tahu bahwa mahar itu setelah diserahkan akan menjadi sepenuhnya milik isteri.

Suami sudah tidak boleh lagi meminta mahar itu, karena mahar itu statusnya sudah jadi milik isteri. Kalau seandainya isteri dengan murah hati lalu memberi sebagian atau seluruhnya harta mahar yang sudah 100% menjadi miliknya kepada suaminya, itu terserat kepada dirinya. Tapi yang harus dipastikan adalah bahwa mahar itu milik isteri.

Sekarang bagaimana dengan nafkah buat isteri?

Kalau kita mau sedikit cermat, sebenarnya dan pada hakikatnya, yang disebut dengan nafkah buat isteri adalah harta yang sepenuhnya diberikan buat isteri. Dan kalau sudah menjadi harta milik isteri, maka isteri tidak punya kewajiban untuk membiayai penyelenggaraan rumah tangga. Nafkah itu 'bersih' menjadi hak isteri, di luar biaya makan, pakaian, bayar kontrakan rumah dan semua kebutuhan sebuah rumah tangga.

Mungkin Anda heran, kok segitunya ya? Kok matre' banget sih konsep seorang isteri dalam Islam?

Jangan heran dulu, kalau kita selama ini melihat para isteri tidak menuntut nafkah 'eksklusif' yang menjadi haknya, jawabnya adalah karena para isteri di negeri kita ini umumnya telah dididik secara baik dan ditekankan untuk punya sifat qana'ah.

Saking mantabnya penanaman sifat qana'ah itu dalam pola pendidikan rumah tangga kita, sampai-sampai mereka, para isteri itu, justru tidak tahu hak-haknya. Sehingga mereka sama sekali tidak mengotak-atik hak-haknya.

Memandang fenomena ini, salah seorang murid di pengajian nyeletuk, "Wah, ustadz, kalau begitu hal ini perlu tetap kita rahasiakan. Jangan sampai isteri-isteri kita sampai tahu kalau mereka punya hak nafkah seperti itu."

Yang lain menimpali, "Setuju stadz, kalau sampai isteri-isteri kita tahu bahwa mereka punya hak seperti itu, kita juga ntar yang repot nih ustadz. Jangan-jangan nanti mereka tidak mau masak, ngepel, nyapu, ngurus rumah dan lainnya, sebab mereka bilang bahwa itu kan tugas dan kewajiban suami. Wah bisa mejret nih kita-kita, ustadz."

Yang lain lagi menambahi, "Benar ustadz, bini ane malahan sudah tahu tuh masalah ini. Itu semua kesalahan ane juga sih awalnya. Sebab bini ane tuh, ane suruh kuliah di Ma'had A-Hikmah di Jalan Bangka. Rupanya materi pelajarannya memang sama ame nyang ustadz bilang sekarang ini. Cuman bini ane emang nggak tiap hari sih begitu, kalo lagi angot doang."

"Tapi kalo lagi angot, stadz, bah, ane jadi repot sendiri. Tuh bini kagak mao masak, ane juga nyang musti masak. Juga kagak mau nyuci baju, ya udah terpaksa ane yang nyuciin baju semua anggota keluarga.Wii, pokoknya ane jadi pusing sendiri karena punya bini ngarti syariah."

Menjawab 'keluhan' para suami yang selama ini sudah terlanjur menikmati ketidak-tahuan para isteri atas hak-haknya, kami hanya mengatakan bahwa sebenarnya kita sebagai suami tidak perlu takut. Sebab aturan ini datangnya dari Allah juga. Tidak mungkin Allah berlaku berat sebelah.

Sebab Allah SWT selain menyebutkan tentang hak-hak seorang isteri atas nafkah 'eksklusif', juga menyebutkan tentang kewajiban seorang isteri kepada suami. Kewajiban untuk mentaati suami yang boleh dibilang bisa melebihi kewajibannya kepada orang tuanya sendiri.

Padahal kalau dipikir-pikir, seorang anak perempuan yang kita nikahi itu sejak kecil telah dibiayai oleh kedua orang tuanya. Pastilah orang tua itu sudah keluar biaya besar sampai anak perawannya siap dinikahi. Lalu tiba-tiba kita kita datang melamar si anak perawan itu begitu saja, bahkan kadang mas kawinnya cuma seperangkat alat sholat tidak lebih dari nilai seratus ribu perak.

Sudah begitu, dia diwajibkan mengerjakan semua pekerjaan kasar layaknya seorang pembantu rumah tangga, mulai dari shubuh sudah bangun dan memulai semua kegiatan, urusan anak-anak kita serahkan kepada mereka semua, sampai urusan genteng bocor. Sudah capek kerja seharian, eh malamnya masih pula 'dipakai' oleh para suaminya.

Jadi sebenarnya wajar dan masuk akal kalau untuk para isteri ada nafkah 'eksklusif' di mana mereka dapat hak atas 'honor' atau gaji dari semua jasa yang sudah mereka lakukan sehari-hari, di mana uang itu memang sepenuhnya milik isteri. Suami tidak bisa meminta dari uang itu untuk bayar listrik, kontrakan, uang sekolah anak, atau keperluan lainnya.

Dan kalau isteri itu pandai menabung, anggaplah tiap bulan isteri menerima 'gaji' sebesar sejuta perak yang utuh tidak diotak-atik, maka pada usia 20 tahun perkawinan, isteri sudah punya harta yang lumayan 20 x 12 = 240 juta rupiah.Tapi kalau selama menikah si suami selalu mengandalkan uang istri bayar keperluan sekolah anak-anak, cicilan motor, kredit rumah, makan di restoran dll itu sama juga menyiksa istri juga kan. Kapan si istri bisa nabungnya? Apalagi ditambah si suami tidak mau memberikan asuransi kesehatan untuk si istri dan dirinya sendiri, bisa bertambah susah kalau begitu. Lebih parahnya lagi, istri sampai harus sembunyi-sembunyi kalau belanja untuk mempercantik diri padahal agar suami makin betah,  itu sih kelewatan. 
Lumayan kan padahal kalau istri bisa punya tabungan di hari tua. 

Nah hartai tu milik isteri 100%, karena itu adalah nafkah dari suami. Kalau suami meninggal dunia dan ada pembagian harta warisan, harta itu tidak boleh ikut dibagi waris. Karena harta itu bukan harta milik suami, tapi harta milik isteri sepenuhnya. Bahkan isteri malah mendapat bagian harta dari milik almarhum suaminya lewat pembagian waris.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Sumber
http://www.eramusli m.com/ustadz/ eki/8724002110- harta-isteri- manakah.htm

Mulianya suami penyabar di mata Allah

DALAM mengharungi kehidupan rumah tangga pasti akan melalui saat-saat getir yang kadang-kala boleh menggunncang bahtera yang dibina itu. ada sebuah ungkapan 'sedangkan lidah lagikan tergigit, inikan pula suami isteri'. Kita tidak dapat menafikan sebagai manusia, suami atau isteri mempunyai kelemahan masing-masing. Cara terbaik untuk mengatasinya dengan bersabar dan tidak membesar-besarkan kelemahan itu.
Firman Allah:
"Dan bergaullah kamu dengan mereka (isteri kamu) dengan cara yang patut (baik). Kemudian jika kamu (berasa) benci kepada mereka (kerana tingkah lakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya) karena boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedangkan Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak untuk kamu." (Surah an-Nisa, ayat 19).

Rasulullah SAW pernah bersabda,
"Mana-mana lelaki yang bersabar di atas keburukan perangai isterinya, Allah akan berikannya pahala seperti yang diberikan kepada Ayyub kerana bersabar di atas bala yang menimpanya. Dan mana-mana isteri yang bersabar di atas keburukan perangai suaminya, Allah akan berikannya pahala seperti yang diberikan kepada Asiah binti Muzahim, isteri Firaun."

Berakhlaklah dalam mendidik isteri, sebuah rumahtangga bahagia ialah rumahtangga yang dikendalikan mengikut nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah SWT. Tidak boleh dikatakan rumahtangga sekiranya sesebuah rumahtangga itu tidak dapat diatur dan disusun mengikut apa yang dikehendaki Allah SWT walaupun keadaan rumahtangga itu nampaknya tenang dan aman. Dalam hal ini, kebijaksanaan suami dalam mengendalikan rumahtangga menjadi faktor penting untuk mencapai tujuan itu.

Masalah utama yang patut dilakukan oleh suami ialah berakhlak baik dengan isteri dan anggota keluarga di bawah tanggungjawapnya. Maksud berakhlak di sini ialah si suami mestilah seorang penyabar dalam mendidik isterinya. Dalam artikata yang lain si suami mestilah sanggup menghadapi derita dan sengsara disebabkan kerenah isterinya. Ini adalah karena kaum perempuan itu dijadikan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang lemah dan perlu dilindungi.

Oleh yang demikian
- ketika isteri marah, suami semestinya menaruh perasaan belas kasihan dengan mendiamkan diri dan bersabar.
- Biarkan dia bercakap apa saja kerana apabila kehabisan bahan untuk bercakap dia akan diam. Jangan dilawan cakapnya kerana akan lebih banyaklah modal percakapannya!
- Jangan pula lari meninggalkannya kerana kalau lari, apabila suami balik semula, si isteri akan sambung balik percakapannya.
- Tunggu dan diam sampai si isteri berhenti bercakap. Sesudah itu kalau si suami hendak bercakap pun sudah boleh.

Sebenarnya itulah rahsia yang ada pada seorang isteri, apabila telah habis melepaskan apa yang hendak di'omel'kannya, dia akan tenang kembali karena seperti yang dikatakan, fikirannya adalah di atas lidah saja. Sebab itulah, kalau si suami tidak melawan cakap-cakap isteri, rumahtangga akan lebih selamat. Pokoknya si suami hendaklah sabar banyak-banyak dan sanggup menanggung kesakitan itu.

Khalifah Umar r.a. dileteri isteri Kisah Khalifah Umar sabar, diam apabila dimarahi isteri amat bagus dijadikan contoh/pengajaran bagi suami menghadapi karenah isteri.
Al-kisah, seorang lelaki yang mengunjungi Umar bin Khattab untuk mengadu akan perihal perangai isterinya. Lelaki itu berdiri di luar pintu menunggu Umar keluar. Tiba-tiba dia terdengar isteri Umar sedang meleterinya, sedangkan Umar diam tidak menjawab walau sepatah pun. Lelaki itu beredar sambil berkata kepada dirinya sendiri: "Kalau beginilah keadaan Umar, seorang Amirul mukminin yang selalu keras dan tegas, maka bagaimana dengan aku?" Selepas itu Umar keluar dari rumahnya dan melihat lelaki tadi beredar. Umar memanggilnya dan bertanya tujuan kedatangannya. Lelaki itu berkata, "Wahai Amirul mukminin, aku datang untuk mengadu mengenai perangai isteriku yang buruk dan suka berleter kepadaku." "Tadi aku mendengar isteri anda pun begitu juga. Lalu aku berkata kepada diriku, "Kalau begini keadaan Amirulmukminin dengan isterinya, maka bagaimana dengan aku?" Umar berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bersabar mendengar omelannya karena dia mempunyai hak ke atas aku.
Sesungguhnya dia memasak makanan aku,
mengadun roti untuk aku,
membasuh pakaian aku dan
menyusui anakku,
padahal semua itu tidak diwajibkan ke atasnya.
Dia juga menenangkan hatiku daripada melakukan perbuatan yang haram (zina).
Sebab itulah aku bersabar dengan kerenahnya."
Lelaki itu menjawab, "Wahai Amirul mukminin, demikian jugalah isteriku." Umar pun berkata kepadanya: "Maka bersabarlah wahai saudaraku. Sesungguhnya karenanya itu tidak lama, hanya seketika saja."

Para suami diseru oleh Allah SWT di dalam Al-Quran dengan firman, yang bermaksud,
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (Surah An-Nisaa, ayat 19)

Ini bermakna seorang suami tidak boleh membenci isterinya sampai menceraikannya hanya karena satu kelakuan isterinya yang tidak menyenangkan. Tetapi hendaklah dipertimbangkan dengan perilaku lain yang menyenangkan dari isterinya. Rasulullah SAW pernah bersabda, bahawa barang siapa yang sanggup menahan penderitaan atau sabar di atas kejahatan serta perangai isteri mereka Allah SWT akan memberi mereka pahala sebagaimana pahala bagi Nabi Ayub.

Menurut sejarah Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya terhadap isteri-isterinya. Beliau dapat menahan segala kemarahan terhadap isterinya yang kadang-kadang membuat ragam juga.
Sebab itulah sabda Rasulullah SAW yang maksudnya:

"Orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang terbaik terhadap isterinya, dan aku adalah orang yang terbaik di antara kamu terhadap isteriku." (Hadis Riwayat Ibnu Majah)

Dalam satu peristiwa, Aisyah r.a. telah memarahi Rasulullah SAW. Kata Aisyah kepada baginda, "Engkaukah orang yang mengaku Nabi?" Nabi hanya senyum sahaja. Kemudian Rasulullah berkata, "Aku tahu, kalau engkau marah kepada aku, kau cakaplah begini, "Demi Allah Tuhan Ibrahim." Kalau engkau gembira dengan aku, kau katalah "Demi Tuhan Muhammad." Jawab Aisyah r.a., "Betul kata engkau itu. Masa aku marah, aku tidak sebut nama engkau."

Di masa lain pula Aisyah r.a. telah mendorong Rasulullah SAW dari belakang hingga beliau hampir jatuh. Emak Aisyah r.a. ternampak perangai Aisyah lalu ditamparnya muka Aisyah. Kemudian berkata Rasulullah SAW, "Biarkanlah dia begitu. Sebenarnya dia telah banyak berbuat kepada aku, lebih dari itu lagi."

Sewajarlah para suami mengambil iktibar daripada banyak ragamnya isteri-isteri Rasulullah SAW. Sebenarnya bukan Aisyah sahaja yang membuat karenah malah isteri-isteri Rasulullah SAW. yang lain juga. Tetapi Rasulullah SAW boleh hadapi semuanya dengan senyum sahaja. Kalau isteri Rasulullah SAW bertaraf Ummahatul Mukminin itu pun ada juga ragamnya dan wanita-wanita solehah di zaman Rasulullah SAW yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah SAW itu pun banyak ragamnya, apa lagilah wanita-wanita dan isteri-isteri di zaman yang telah jauh dari zaman Rasulullah SAW ini. Sebenarnya Allah SWT jadikan isteri-isteri Rasulullah SAW demikian ragamnya supaya dapat menjadi contoh kepada umat Nabi Muhammad SAW yang kemudian ini tentang akhlak Rasulullah SAW bila berhadapan dengan isteri-isterinya. Kalaulah Allah jadikan isteri Rasulullah SAW itu baik semuanya, jadi tidak ada contohlah para suami tentang bagaimana sikap yang patut dilakukan ketika isteri meragam untuk mengekalkan kebahagiaan rumahtangga. Sebab itulah, bila Allah jadikan Siti Aisyah dan isteri-isteri Rasulullah SAW begitu untuk menjadi contoh dan dapatlah diambil teladan darinya. Yang demikian, bolehlah si suami memujuk hati dengan mengatakan, "Sedangkan Rasulullah SAW tidak marah-marah, sepatutnya aku pun begitu juga." Lagipun, banyak ragam ini tidak mencacatkan kesolehan wanita. Sebab itu, para suami jangan lekas naik radang dan menuduh isteri nusyuz, engkar dan sebagainya. Banyak ragam tidak menjadikan isteri nusyuz. Cuma ketika itu isteri sedang naik angin, biarkan sahaja sehingga angin itu sejuk. Nanti akan baiklah dia. Sebab itulah para suami dikehendaki banyak bersabar dalam mendidik isterinya. Si suami bukan sahaja mesti bersabar dengan kelakuan isterinya malah disuruh juga oleh Allah SWT supaya bergurau-gurau dan bermain-main dengan isterinya. Nabi juga menyuruh para suami bermesra dengan bergelak ketawa bersenda-senda dengan isteri. Janganlah suami-suami sentiasa bersikap terlalu serius dengan para isteri untuk mempertahankan kehebatan. Kalau sesama lelaki bolehlah menjaga kehebatan masing-masing dan tidak digalakkan selalu sangat bergurau sesama lelaki. Tetapi dengan isteri sepatutnya si suami mestilah banyak bergurau. Malah Rasulullah SAW sendiri amat suka bersenda gurau dengan isterinya, hinggakan semasa Rasulullah SAW bergurau dengan isterinya, dia sanggup menurunkan darjatnya seperti seorang perempuan. Ertinya, Rasulullah SAW turut bergurau macam seorang perempuan bergurau iaitu sindir-menyindir, cubit-mencubit dan sebagainya.

Pernah dalam satu gurauannya dengan Aisyah, Nabi mengajak isterinya itu berlari-lari. Sedangkan ketika itu Aisyah muda belia berumur 16 tahun. Sedangkan Rasulullah SAW sudah berumur 60 tahun, tapi Rasulullah SAW tetap lakukan juga kerana hendak menghibur-hiburkan hati isterinya. Walaupun begitu, apabila beliau berlumba lari dengan Aisyah, Rasulullah SAW tetap menang sebab Rasulullah SAW juga adalah ahli sukan yang pantas disebabkan beliau sentiasa riadah dengan menunggang kuda, bermain pedang dan lain-lain senjata. Justeru itu para suami eloklah memperbanyakkan gurau senda dengan isteri masing-masing dan eloklah sekali sekala mengajak isteri berlumba-lumba dan sebagainya. Begitu juga dalam soal masak-memasak dan mengemas rumah, suami hendaklah membuat kerja tersebut sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sesungguhnya sunnah nabi itu adalah ikutan yang paling baik. Suami yang baik ialah suami yang memberi contoh tauladan dalam mendidik isteri. Jadikan masa yang terluang atau masa rehat itu dipenuhi dengan aktiviti-aktiviti yang memberi faedah, bukan dengan aktiviti-aktiviti seperti berbual-bual kosong di kedai-kedai kopi, di tempat-tempat maksiat dan sebagainya. Begitu juga dengan aktiviti memancing atau bersukan dan lain-lain yang kadang-kadang sampai tertinggal ibadah sembahyang. Sesungguhnya, seorang suami itu terlalu berat tanggungjawapnya. Setiap urusannya di dunia ini, akan dipersoalkan di akhirat kelak. Jika tersilap atau tidak kena gaya, lelaki inilah yang akan dibakar di dalam neraka. Baik isteri mahu pun anak-anak pastinya akan mendakwa lelaki yang bergelar suami mahu pun ayah. Bukan senang menjadi seorang suami. Untuk mendidik seorang isteri yang telah dicorak dengan pelbagai corak oleh ibu bapanya dan persekitarannya. Bagi mereka yang menerima kain putih yang bersih maka bersyukurlah kerana tanggungjawap hanya memastikan keputihan kain tersebut bersih dan putih namun bagi suami yang menerima kain yang telah dicorakkan dengan pelbagai ragam seperti dengki, bongkak, sombong, ego, celupar dan pelbagai lagi corak kehidupan yang melekat pada kain sebelum perkahwinan, perlulah kuat pegangan agamanya. Bagi seorang suami yang menerima kain sedemikian, risiko kegagalan membersihkan dan memutihkan kembali kain tersebut mungkin ada, namun, suami seharusnya sadar dan seharusnya insaf bahawa itulah kain yang diambilnya atas kalimah Allah SWT untuknya. Suami mengambil seorang isteri atas kalimah Allah, oleh itu dia adalah amanah untuk dipelihara dan dijaga. Suami wajib redha dan menerima ujian Allah SWT kerana setiap yang telah ditentukanNya adalah untuk meningkatkan tingkat keimanan dan kesabarannya sebagai hamba-Nya.